Teminabuan – Sederet Kebijakan Pendidikan Sejak menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim telah meluncurkan berbagai kebijakan yang bertujuan mereformasi sistem pendidikan Indonesia.
Namun, tidak sedikit dari kebijakan tersebut yang menuai kontroversi di kalangan pendidik, siswa, orang tua, dan bahkan pengamat pendidikan.
Salah satu kebijakan awal yang menuai perdebatan adalah penghapusan Ujian Nasional (UN).
Kebijakan ini disambut baik oleh sebagian pihak karena dianggap mengurangi tekanan akademik pada siswa.
Namun, banyak juga yang menilai penghapusan UN mengurangi standar evaluasi nasional yang seragam.
Sebagai gantinya, Nadiem memperkenalkan Asesmen Nasional (AN) yang mencakup literasi, numerasi, dan survei karakter.
Meski tujuannya baik, pelaksanaan AN dinilai masih bermasalah, terutama dalam kesiapan sekolah-sekolah di daerah.

Tantangan infrastruktur digital menjadi salah satu hambatan utama dalam pelaksanaan AN.
Baca Juga : Scaloni Pasrah Bakal Ditinggal Messi Pensiun
Selain itu, program Merdeka Belajar juga menjadi kebijakan besar Nadiem yang memicu diskusi panjang.
Konsep Merdeka Belajar ingin memberikan kebebasan kepada guru dan siswa dalam proses belajar mengajar.
Namun, sebagian guru merasa kebingungan karena kurangnya pedoman teknis dan pelatihan yang memadai.
Banyak yang menilai implementasi konsep ini terlalu cepat tanpa kesiapan sumber daya manusia di lapangan.
Nadiem juga memperkenalkan Kampus Merdeka di tingkat perguruan tinggi sebagai bagian dari reformasi pendidikan tinggi.
Mahasiswa diberi kesempatan belajar di luar program studi
Beberapa perguruan tinggi menyambut baik ide ini karena mendorong inovasi dan kolaborasi lintas sektor.
Namun, banyak mahasiswa dan dosen mempertanyakan kesetaraan beban kerja dan pengakuan kredit dari program tersebut.
Masalah birokrasi dan kurangnya mitra industri juga membuat pelaksanaan Kampus Merdeka tak berjalan mulus di banyak daerah.
Di sisi lain, kebijakan rekrutmen guru PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) juga menuai kontroversi.
ini Banyak guru honorer yang merasa tersisih karena proses seleksi berbasis tes online dianggap tidak mempertimbangkan pengalaman kerja.
Proses seleksi ini memicu gelombang protes dari ribuan guru honorer di berbagai daerah.