
INFO Teminabuan – Konflik investasi dan tanah adat kembali mencuat di Sorong Selatan, Papua Barat Daya. Sejumlah perwakilan masyarakat adat mengadukan ketidakadilan dalam proses kompensasi hak ulayat kepada pihak berwenang, didampingi oleh kuasa hukum. Mereka juga melaporkan dugaan kekerasan yang dilakukan oleh pihak perusahaan selama berlangsungnya aktivitas investasi di wilayah adat mereka.
Hingga saat ini, masyarakat adat pemilik tanah mengaku belum menerima ganti rugi resmi dan menyeluruh atas tanah ulayat yang telah digunakan untuk kepentingan investasi. Menurut mereka, kompensasi yang diberikan hanya berupa uang sirih pinang senilai Rp1,6 miliar, tiga unit dump truck, serta pendampingan pembentukan koperasi yang akhirnya gagal beroperasi.
Menanggapi kondisi tersebut, Senator Papua Barat Daya Agustinus R. Kambuaya menyuarakan keprihatinan mendalam. Ia menyebut bahwa konflik antara masyarakat adat dan investor merupakan persoalan laten yang terus terjadi di Tanah Papua akibat lemahnya tata kelola investasi yang adil, transparan, dan partisipatif.
“Program investasi, baik milik pemerintah maupun swasta, belum pernah dirancang secara clear and clean bersama masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat,” ujar Agustinus, Sabtu (5/7/2025).
Agustinus menilai bahwa ketimpangan peran antara pemerintah, investor, dan pemilik tanah adat menyebabkan potensi eksploitasi dan ketegangan berkepanjangan. Masyarakat adat sering kali hanya dijadikan objek dalam proyek-proyek investasi, tanpa ruang partisipasi yang memadai dalam proses perencanaan maupun implementasi.
Untuk mencegah konflik serupa di masa depan, ia mengusulkan pembentukan Forum Investasi Papua serta penyusunan Protokol Investasi Adat. Menurutnya, dua hal ini penting untuk menjadi ruang negosiasi setara antara masyarakat adat, investor, dan pemerintah daerah, sehingga investasi dapat berjalan dengan prinsip keberlanjutan, keadilan sosial, dan penghormatan terhadap hak ulayat.
“Forum ini harus menjadi platform legal dan formal yang memastikan suara masyarakat adat tidak lagi diabaikan dalam kebijakan investasi ke depan,” tambah Agustinus.
Konflik tanah adat di Sorong Selatan kini menjadi simbol urgensi reformasi tata kelola investasi di wilayah Papua. Para pemerhati HAM dan lingkungan juga mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk segera turun tangan menyelesaikan persoalan ini secara adil.
Dengan meningkatnya sorotan publik, diharapkan konflik investasi dan tanah adat di Papua dapat diselesaikan melalui dialog terbuka, bukan pendekatan koersif atau transaksional yang selama ini menjadi akar permasalahan.